KATA ADALAH SENJATA

“Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam, dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan. Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah sementara pena yang dihunusnya belum mau patah.” (Joko Pinurbo dalam Kurcaci, 1998)

Dalam kesempatan yang lain, Pramoedya Ananta Toer mengibaratkan kata sebagai tanah lempung yang mudah dibentuk sesuka hati sehingga dapat berdentang selayaknya besi. Dalam berbagai peribahasa, di beragam bahasa, kata diumpamakan sebagai pedang atau pelbagai perumpamaan yang begitu perkasa lainnya.

Mengapa kata dianggap digjaya?

Ya, karena ia mewakili tingkat peradaban manusia. Keunggulan Nabi Adam, dalam Al Qur’an, atas malaikat dan iblis adalah karena ia menguasai nama-nama benda yang diajarkan Allah kepadanya. Information is power, itu intinya. Atau seorang anak manusia juga akan dianggap lebih “berharga” ketika ia mulai mengeluarkan kata-kata pertamanya semasa bayi. Entah itu “papa”, “mama”, “abi”, “ummi” atau bahkan sekadar suara hewan yang sering dilihatnya, “meong”, misal.

Seorang penulis dipuji orang antara lain karena kekuatan dan variasi kata yang dimilikinya. Penulis yang hanya setia pada kata-kata yang pertamakali dikenalnya sewaktu mulai menulis satu dekade lalu dan enggan atau bahkan ngeri bereksperimen menggunakan kata-kata baru – yang diperoleh seiring pergelutannya di dunia literasi dan jam terbang kepenulisan – juga cenderung akan diklasifikasikan sesuai bosan tidaknya pembaca mengikuti tulisannya.

Sebetulnya ini tidak eksklusif bagi kalangan penulis saja. Seorang Barack Obama, kandidat presiden Amerika Serikat dari Pantai Demokrat, juga dielu-elukan salah satunya karena keterampilannya menggunakan kata-kata yang inspiratif dan bertenaga. Di dunia yang kian beradab, sesuai tingkat peradaban manusia, kata-kata lebih dibutuhkan sebagai sarana berkomunikasi atau mencari solusi ketimbang otot atau fisik yang kerap digunakan orang-orang yang rendah intelektualitasnya atau manusia zaman purba.

Jangan heran jika orang yang kalah berdebat atau berolah kata cenderung memilih tinju sebagai solusi karena barangkali itulah naluri dasar di masa awal peradaban. Dalam khazanah sejarah, kita menyebutnya sebagai manusia barbar. Pasukan Mongol yang mematahkan kekhilafahan Islam di Irak beberapa abad silam dan membumihanguskan perpustakaan terbesar di muka bumi pada kurun waktu itu adalah contoh sempurna profil manusia barbar dalam sejarah manusia. Buku-buku karya para ilmuwan besar zaman tersebut dilarung ke sungai sehingga sungai Eufrat dan Tigris menghitam airnya karena jutaan liter tinta buku yang dimusnahkan. Bukan hanya dunia Islam, sebetulnya, yang berduka tapi peradaban manusia secara keseluruhan yang kehilangan catatan keemasannya.

Ya, karena kata, buku dan ilmu adalah satu deret hal yang berjalin. Mengapa?

“Sekarang aku yakin bahwa dengan penguasaan kosakata yang kian banyak, aku akan bisa memahami apapun yang tertulis di buku. Dan sebuah dunia baru akan terbuka di depan seseorang, jika ia selesai membaca gagasan besar…………….Justru ketika itulah pertamakali aku merasakan kebebasan yang sesungguhnya.”

Itulah pengakuan jujur seorang Malcolm X, sang pejuang Hak Asasi Manusia selain Marthin Luther King, yang bersusah-payah mempelajari banyak buku semasa dipenjara. Malcom X – yang kemudian kembali ke Islam dan kisah hidupnya difilmkan Hollywood – adalah mantan begundal yang menemukan kebebasannya melalui buku di tempat yang secara fisik sangat mengungkung, sebenarnya. Penjara. Tapi, dengan buku, ia mempunyai sayap yang mengangkatnya lebih tinggi untuk memahami berbagai gagasan dan makna kebebasan. Dan itu berawal dari satu hal: kata.

Jadi, Sahabat, membacalah agar semakin banyak kata kita reguk!

Apakah cukup?

Jared Sparks yang hidup pada kurun waktu 1789-1866 mengungkapkan cara lain untuk memperkaya khazanah kata yang kita miliki. Apa katanya? “When you talk, you repeat what you already know; when you listen, you often learn something.” Saat kita bicara, kita hanya mengulangi apa yang sudah kita tahu. Tapi ketika kita mendengarkan, kita kerap mempelajari sesuatu. Yup, bukankah Tuhan menganugerahi kita dua telinga dan satu mulut? Tentu maksudnya agar kian banyak kata baru yang kita dengar dan pahami ketimbang mengumbar kata-kata basi yang tak jelas juntrungannya.

Namun, agar kian tajam senjata kata yang kita punya, kita harus mengasahnya dalam berbagai kesempatan. Dan cara tercanggih dan alamiah adalah dengan menulis. Dalam buku Boost Your Mind Power (2006) karya Bill Lucas, Graham Wallas mengatakan,”How do I know what I think ‘till I see what I say?” Kita kerap mendapati dengan menuliskan sesuatu meski sekadar pengalaman pribadi sekalipun, segala hal menjadi jelas, kegundahan terhapuskan dan maksud tersampaikan. Memang jika kita mampu mendeskripsikan sesuatu dengan akurat kepada orang lain itu artinya kita berada di jalan yang benar dalam memahami diri kita sendiri.

Tidak percaya? Silakan mencoba dan bereksperimen dengan kata. Jika ada salah toh namanya juga berusaha. Dan itulah esensi pengalaman. Experience is the name we give to our mistakes, kata Oscar Wilde. Tuhan pun tidak hanya menghargai orang-orang yang berhasil mencapai puncak ilmu dan kebaikan tapi juga orang-orang yang berusaha mencapainya.

Kini senjata bernama kata pun terhunus, siap dihunjamkan.

www.nursalam.multiply.com

SEMOGA TAZKIA JAYA DENGAN KATA
IKATLAH INSPIRASIMU DENGAN KATA...PROVE IT TAZKIA PEOPLE

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.